Selasa, 28 November 2017

Kritik Arsitektur Terhadap Bangunan Daerah Pesisir "Rumah Bajo"

Sumber: https://iyakan.com/kegiatan-seru-wakatobi/4035

Suku Bajo/Bajau merupakan suku laut, yang menggantungkan hidupnya dari laut dan memiliki kehidupan yang tak pernah jauh dari laut. Banyak orang yang mengatakan bahwa Suku Bajo selalu identik dengan perahu, dan permukiman di atas air laut sebab dahulu mereka hanya tinggal diatas perahu dan berkelana/hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lainnya (seanomedic). Lalu kebiasaan hidup berpindah kemudian tergantikan dengan budaya bermukim menetap dengan membangun rumah diatas laut dangkal.

Sebuah permukiman Suku Bajo yang masih tradisional terdapat di Desa Bangko, Kecamatan Maginti, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Desa ini berada di sebelah barat Pulau Muna, yang secara administratif wilayahnya mencakup daratan dan lautan. Permukiman di Desa Bangko dibangun diatas laut, yang berjarak kurang lebih 600 meter dari mainland (pulau Muna), sehingga nampak seolah-olah sebagai permukiman terapung. Diantara banyaknya permukiman Suku Bajo di Sulawesi Tenggara, Desa Bangko merupakan salah satu desa Suku Bajo yang masih tetap mempertahankan tradisi bermukim diatas laut hingga saat ini, sementara permukiman Suku Bajo lainnya pada umumnya telah tinggal menetap di tepi pantai atau sudah membangun rumah diatas daratan.

Terciptanya bentuk arsitektur rumah Bajo dilatarbelakangi oleh suatu budaya, yaitu Budaya Appabolang. Dimana dalam budaya ini, terdapat prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam pembuatan rumah Bajo.



• Ulu ( Kepala )
  Sebagai tempat yang teratas karena melambangkan kesucian.
• Watang ( Badan )
  Melambangkan suatu penghidupan sejati yang harus dilindungi.
• Aje ( Kaki )

Merupakan tempat kotor yang dipenuhi oleh roh jahat yang berfungsi untuk melindungi watang.


Budaya pada latar belakang berdirinya rumah Bajo tak hanya berhenti pada prinsip dan esensi dalam membangun rumah. Mereka mempunyai upacara Mapatettong Bola, upacara ini adalah suatu acara yang berarti mendirikan rumah. Sudah menjadi kepercayaan masyarakat Bajo dalam mendirikan rumah harus berhati-hati. Mereka meyakini adanya waktu dan hari baik untuk dapat membangun setiap elemen dari rumah Bajo.



Arah horizontal ditandai dengan Lego-Lego atau Paselo, yang berarti teras; Watangpola yang berarti badan rumah; dan Dapureng, yang berarti dapur. Badan rumah sebagai penghidupan sejati harus dilindungi dan ditempatkan di tengah. Pada badan rumah harus ada Pocci Bola, yang berarti pusar rumah, yang berfungsi sebagai tempat tempat berkumpul keluarga dan di setiap malam Jum’at diadakan upacara doa-doa dan pembakaran kemenyan agar keluarga terhindar dari malapetaka.



Suku Bajo percaya bahwa barat merupakan arah kiblat yang harus disucikan, tidak boleh ditempatkan sebagai area rumah yang jorok, seperti toilet. Serta penggunaan jumlah anak tangga yang harus selalu ganjil. Mereka percaya jika ini dilanggar, akan mendatangkan musibah ataupun menyurutkan masuknya rezeki ke dalam rumah.
  • Tiang
Bangunan ini didirikan dengan struktur utama, yaitu berupa kayu berjenis Posi-posi yang merupakan kayu lokal daerah tersebut dengan sistem sambungan berupa takikan kayu yang dipaku pada bagian bawah rumah dan ikatan tali enau pada bagian struktur atap.



  • Atap
Bentuk atap yang digunakan masih berupa atap pelana dengan struktur yang menggunakan sambungan ikat. Penutup atap menggunakan material rumbia
(atap nipah).



  • Dinding
Struktur dinding menggunakan batangan kayu nibong sebagai bahannya dan menggunakan sambungan ikat. Bahan dinding terus mengalami perubahan, dan sebagai alternatif bahan, digunakanlah papan kayu dengan menggunakan paku sebagai alat sambungannya.





Lantai

Lantai tidak memiliki pola khusus. Memiliki struktur yang terdiri atas batangan kayu utuh sebagai penyangga atau balok lantai. Papan kayu digunakan sebagai penutup bahan lantai. Sebelum papan digunakan sebagai penutup lantai, masyarakat Bajo menggunakan kayu nibong (sejenis pohon pinang) yang dibuat datar permukaannya. Dan barlah setelah itu mereka beralih menggunakan kayu posi-posi.


Rabu, 01 November 2017

Kritik Arsitektur Terhadap Bangunan “Museum Bank Indonesia”



Sejarah

Museum Bank Indonesia adalah sebuah museum di Jakarta, Indonesia yang terletak di Jl. Pintu Besar Utara No.3, Jakarta Barat (depan stasiun Beos Kota), dengan menempati area bekas gedung Bank Indonesia Kota yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal, dipadu dengan pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828.

Awal mulanya bangunan objek wisata Museum Bank Indonesia adalah sebuah rumah sakit umum yang bernama Binnen Hospitaal, hingga pada sekitar tahun 1828, bangunan tersebut di ubah fungsinya menjadi tempat penyimpanan uang atau Bank dengan nama De Javashe Bank. Selama satu abad berlangsung, tepatnya pada tahun 1953 setelah 9 tahun kemerdekaan republic Indonesia, bangunan DJB di tetapkan sebagai Bank Sentral Indonesia atau yang lebih dikenal sebagai Bank Indonesia.

Selang 9 tahun kemudian yaitu pada tahun 1962, pemerintah Indonesia kemudian memindahkan Bank Indonesia tersebut ke lokasi baru dan lebih strategis, sehingga tempat BI yang dahulu mejadi kosong tanpa di gunakan untuk keperluaan yang penting.

Museum ini menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati Museum Bank Indonesia. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik.

Peresmian Museum Bank Indonesia dilakukan melalui dua tahap, yaitu peresmian tahap I dan mulai dibuka untuk masyarakat (soft opening) pada tanggal 15 Desember 2006 oleh Gubernur Bank Indonesia saat itu, Burhanuddin Abdullah, dan peresmian tahap II (grand opening) oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 21 Juli 2009.


Tujuan Pendirian Museum Bank Indonesia
Guna menunjang pengembangan kawasan kota lama sebagai tujuan wisata di DKI Jakarta, maka sangat tepat apabila gedung BI Kota yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh pemerintah, dimanfaatkan menjadi Museum Bank Indonesia. Keberadaan museum ini nantinya diharapkan dapat seiring dan sejalan dalam mendorong perkembangan sektor pariwisata bersama museum-museum lain yang saat ini sudah ada di sekitarnya, seperti Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Keramik, dan Museum Bahari di daerah Pasar Ikan. BI mengharapkan bahwa keberadaan Museum Bank Indonesia akan berarti terwujudnya suatu museum bank sentral di Indonesia, yang mempunyai misi untuk mencari, mengumpulkan, menyimpan, dan merawat benda-benda maupun dokumen bersejarah yang saat ini dimiliki, sehingga menjadi suatu sosok yang mempunyai nilai dan arti penting bagi masyarakat. Hal ini hanya akan dapat terwujud apabila kita dapat menyajikan semuanya dalam bentuk yang mampu memberikan informasi yang lengkap dan runtut, sehingga mudah dimengerti dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat.

Museum BI juga diharapkan dapat menjadi wahana pendidikan dan penelitian bagi masyarakat Indonesia maupun internasional tentang fungsi dan tugas BI, di samping merupakan wahana komunikasi kebijakan dan rekreasi yang bersifat edukatif. Dengan pencapaian tujuan-tujuan tadi, diharapkan Museum BI dapat meningkatkan corporate image . Sepenuhnya disadari bahwa rencana pembangunan museum ini bukanlah suatu gagasan yang sederhana, melainkan suatu gagasan yang bersasaran ganda. Dengan segala keterbatasan dan kendala yang ada, proses perwujudan Museum Bank Indonesia jelas membutuhkan keuletan dan ketelitian. Mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan BI mengenai permuseuman, maka kerjasama dengan para ahli dari berbagai bidang diperlukan untuk bersama-sama mewujudkan gagasan ini secara menyeluruh dari tahapan konsep sampai dengan pelaksanaan fisik nantinya.

Museum BI juga disajikan dalam website Bank Indonesia, sehingga memudahkan publik dimanapun berada untuk melakukan virtual tour dan mempelajari informasi yang disajikan di setiap ruangan Museum BI.


DAFTAR PUSTAKA